Senin, 28 Februari 2011

Lukisan Lima Bocah

Penulis Zamroni Allief Billah | Senin, 28 Februari 2011 | 14.52.00 |

Lukisan Lima Bocah

Desau angin pagi mengelus daun jati, menjadi harmoni pagi membangunkanku dari lelah semalam saat memahat masa depan dan bertukar cerita tentang masa lalu di pantai sebelah rumahmu.

Berjalan menyusuri pematang sawah yang sebentar lagi panen, menguning berkilau di bawah sinaran bulan. Kakikaki kita berkecipak di pematang yang masih basah sisa hujan sore tadi. Aku mengikutimu dari belakang menuju pantai sebelah rumah. Purnama kali ini benarbenar berbeda sebab telah mengantarkan kita pada sebuah perkenalan mendalam, memahami arti masingmasing mimpi..

Datang dari kedalaman hutan, aku hadir atas undannganmu yang tinggal beberapa ratus meter dari laut jawa, menyapamu untuk sebuah harapan. Sebelum malam menenggelamkan kita dalam sebuah impian, terlebih dahulu kau petik gitar yang sengaja kita bawa. Gitar yang sudah tidak lagi berwarna bekas sentuhan  tanganmu atau tangan siapa saja yang barangkali sekedar bernyanyi atau berpuisi.

           “Petik gitarmu, aku ingin berpuisi,” kataku. Tanpa bicara kau petik gitarmu lalu kubaca perlahan sebuah geguritan yang kubuat belum genap sebulan. Lalu Perjalanan Kata, mengakhiri puisi yang kubaca.

“Sepanjang perjalanku sore tadi,” ucapaku mengawali percakapan setelah beberapa judul puisi terbaca “dalam deru vespa tua yang kukendarai menujumu, aku mendapatkan inspirasi tidak untuk sebuah puisi. Kulihat lima bocah mengelilingi gundukan tanah.”

“Gundukan tanah?” katamu bertanya. Tak peduli pertanyaanmu, kulanjutkan bercerita tentang keinginanku untuk menumpahkan rasaku di kanvas sebagaimana kau selama ini berkarya.

“Aku melihat dolanan yang dimainkan oleh  lima bocah, mereka seperti membisikkan tentang sebuah rahasia. Rahasia tiap pribadi yang entah terkadang Tuhan membiarkan manusia bersembunyi di balik bajubaju yang sengaja tidak ditanggalkan untuk sebuah pencitraan, juga terkadang sebuah jebakan fitnah yang turun temurun tanpa sebuah klarifikasi yang sempat dijelaskan atau tak hendak disampaikan. Di sinilah aku melihat kemaha besaran Tuhan dalam menutupi atau membiarkan kita larut pada sebuah keadaan yang akan memberikan kita kekuatan bila mampu mengambil hikmah dari setiap kejadian.”

Aku mendengar desahmu antara debur ombak yang tak henti menjadi pengiring percakapan dalam terpaan sinar bulan yang benarbenar purnama. Kakikaki kita basah tanpa tahu ombak yang mana yang telah menyapa bersama semilir angin laut dan malam semakin larut bersama cerita yang terrangterangan kita buka, tentang masa lalu dan masa depan.

“Aku berharap suatu saat kita pameran bersama,” ucapmu memecah hening setelah kita tenggelam di masingmasing entah perenungan mana, saling diam, tenggelam dalam harmoni malam.

“Tapi belum sekalipun aku benarbenar pernah serius mencoba,” ucapku datar menutupi kegelisahanku menerima tawarannya yang sudah puluhan bahkan mungkin ratusan kali mengadakan pameran lukisan di dalam dan luar negeri.

“Tidak kawan! Justru sebab engkau belum pernah, maka kini kau mesti mencoba. Karena tidak sekedar sebuah lukisan yang kita pamerkan tapi bukankah kita sepakat untuk mengusung sebuah nilai dari setiap jejak jengkal penafsiran dari penghayatan di tiap kejadian.  Kapan  bila tidak sekarang engkau memberi warna kehidupan? Sebab lukisan bukan sekedar gambaran dan harmoni warna tapi lebih kepada bagaimana kita mampu menorehkan warna di kanvas kehidupan dalam hiruk pikuk dunia yang semakin tidak jelas warnanya!” ucapmu bersemangat tak memberiku ruang untuk mengelak.

Lalu kita kembali diam menyusuri ruangruang hati yang tak hendak kita persatukan dalam sebuah goresan atau tulisan. Menyisir kegelisahan akan purnama, masihkah di bulan depan mampu jumpai harmoni. Sebab lautan sudah mulai kehilangan pantai untuk kita, sekedar mengurai penat rasa. Juga kekhawatiran masihkah hutan ini yang tiap paginya selalu membangunkanku dengan nyanyian antara gesek dedaunan.

Bila rerimbun daun juga ilalang habis terbakar perubahan dan gununggunung habis terkikis pembangunan, kemana lagi mencari air yang selama ini mengalir jernih antara bebatuan dan akarakar pohon lalu membelah sawahsawah. Meninggalkan jejak cinta di bening sungai yang tak henti menyapa kita dengan gemericik air menyentuh bebatuan?

Sebelum benarbenar pagi lalu kita bergegas ke masingmasing rumah dan istri yang masih lelap meniti mimpi. Mampukah kau sejenak memejamkan mata untuk persiapan lanjutkan perjalanan esok hari pada sebuah siang yang terik di kental aroma pesisir atau sekedar sejenak membayangkan bahwa suatu saat kau yang hadir mendatangiku bersama anak isterimu menyusuri rerimbun hutan jati yang mulai meranggas menyongsong kemarau sebentar lagi. Sebelum lelap dalam mimpi, kulambaikan tangan mengucap selamat pagi menyapa lima bocah mengelilingi gundukan tanah, dari sebuah lukisan yang baru saja kuselesaikan.


Rembang, 28 Februari 2011

Tidak ada komentar:

 

Permainan Tradisional


Permainan Lainnya »

Kembang Boreh


Kembang Lainnya»

Laesan


Laesan Lagi»
..

Misteri

Dolanan

Tradisi

Gurit

Kembang ~ Mayang

Puisi

Cer ~ Kak

Laesan

Gambar Misteri

Artikel Disarankan Teman