: realita pojok indonesia
Ini adalah sebuah kasunyatan yang sendiri aku alami, akulah seorang perempuan tua yang hidup disebuah gubug dipojok negeri makmur Indonesia. suamiku sudah tidak lagi punya cukup kekuatan untuk menjadi buruh panggul sebab umurnya lima tahun lebih tua dariku.
Umurku saja kini sudah lima puluh lima tahun, tinggal bukan dikolong jembatan macam sisi lain penduduk negeri tercinta juga tak sembarangan aku bersimpuh ditrotoar bahkan dikuburan, sebab aku juga macam kalian hidup tertib dalam aturan yang terkadang tidak begitu tertib sebab penegak hukum dan pemegang aturan sering tidak tertib.
Bahkan suamiku dulu adalah anak dari seorang polisi, melamarku dulu dengan segenap kegagahannya. saat masih jaya dalam remngkuhan nasib yang berfihak pada orang tuanya.
Memilih tidak menjadi pegawai negeri macam saudara – saudaranya yang lain suamiku menumpahkan cintanya pada kesenian memilih menjadi pemain ludruk yang sempat popular ditahun tujuh puluhan, diapun menjadi bintang panggung saat itu
Sebagai seniman suamiku meiliki banyak kelebihan dan ketrampilan, mulai ukir dan berbagai kerajinan tangan yang lain dia kuasai, namun lagi – lagi nasib kami hanya bergantung dari menjaring burung dihutan dan sesekali suamiku memancing di ‘embung lodan’. Bangunan yang menghimpun limpahan air ini menyimpan sedikit keramahan untukku dan suami. Sebab bila nasib suamiku baik terkadang pulang bisa membawa pulang hingga beberapa kilo ikan yang bisa kami tukar dengan beberapa gengam beras untuk mengganjal perut.
Lelah aku terlebih suamiku berandai mendapatkan bantuan modal untuk mengembangkan ketrampilan suamiku hingga penghidupan kami tak sebegini rupa. Bantuan yang diperuntukkan bagi usaha kecil bagiku hanya sekedar cerita lamis belaka, nyatanya tak pernah menyentuh lapisan terpinggirkan macam diriku.
seharian aku tak makan, sungguh ini sebuah kenyataan bahkan hari – hari kemarin juga bukan hal yang istimewa ketika demikian. Lalu dari mana mendapatkan beras jika sawah saja tak punya, kerja tak ada, nguli tak laku lagi main ludruk tak lagi diminati bahkan groupku sudah buyar sepuluh tahun yang lalu.
Aku tak mengharap belas kasihan hanya berharap sedikit saja keadilan dan pemerataan yang selalu dikumandangkan.
aku perempuan renta yang lelah berharap
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar