selasa pagi handpone bututku berdering, berjajar nomor asing yang tak ku kenal tanpa pikir panjang segera ku angkat, ternyata kawan lama yang akupun tidak benar – benar mengenalnya. hanya sekilas wajah dari perkenalan di jejaring sosial facebook.
tidak benar – benar mengenal kepribadiannya namun semangatnya untuk merubah Indonesia aku dapat merasakannya bahkan darahnya yang bergolak oleh cintanya pada sebuah negeri yang lebih dikenal dengan sebutan Indonesia akupun ikut merasakan gejolaknya.
dia tak rela melihat negerinya dijajah oleh gaung kemerdekaan yang selalu dikumandangkan. hasratnya yang bersih gelisah melihat sampah – sampah negeri yang selalu menumpuk ditiap pagi, belum lagi gundahnnya melihat badai kemunafikan yang meluluh lantakkan sebuah cita- cita yang dinamakan ‘merdeka’
beberapa perjumpaan saja dan hanya sekedar suara, namun husnudzon menuntunnya hingga pembicaraan di selasa pagi. berapi – api memaparkan keberhasilan dan kegagalannya membangun harap namun tak sedikitpun terlintas lelah apalagi putus asa.
keringatnya bercucuran mengkristal menjadi permata harap, menghiasi sudut kecil dari negeri besar yang gemah ripah loh jinawi, tata tentrem kerta raharja walau sementara masih sekedar cerita.
terengah dalam langkah kecil terseok dibawah intimidasi tiran, berharap tak sekedar hayalan manakala ngalamun untuk mewujudkan yang sekedar cerita menjadi nyata.
seperti gelegar suara yang masih mengalir dengan semangat menceritakan sebuah cita akan Indonesia. lalu tiba – tiba aku teringat seorang kawan yang lain panggil dia Fatah, seorang yang hidup tergencet keterbatasan. pas – pasan dan memilih keluar dari instansi pendidikan yang kotor penuh permainan. mantan guru ini memilih menjadi seorang ‘sayang’ (pembuat panci) daripada hidup dalam lingkungan pendidikan yang sama sekali tidak mendidik.
Fatah…. dari semangat dan ruh jihadnya yang selalu bergelora menuntunku menyambungkan rasa pada suara diujung sana. tanpa lagi basa basi aku sampaikan tentang hidupnya yang terjepit nasib dan tak tersentuh kawelasan penguasa hanya teronggok dipojok rumahnya yang bolong – bolong sebuah tabung gas warna hijau, dibiarkan menganggur tak terpakai takut meledak katanya.
gayung bersambut keinginanku membangkitkan usahanya yang makin kerdil. sahabatku diujung sana menyambutnya tanpa curiga. mentransfer sejumlah uang kepadaku, padahal tidak sekalipun aku pernah bertatap muka dengannya.
subhanalloh dadaku bergetar melihat betapa besar keagungan-Nya membuka mata hati sahabatku yang diujung sana hingga serta merta begitu saja dengan mudahnya mengulurkan bantuan pada orang asing yang dikenalnya lewat semangat yang sama.
aku hanya berfikir andai ditiap kota ada seorang saja macam dirinya, maka tak perlu mengajukan proposal macam biasanya ketika hendak mengemis bantuan penguasa. belum lagi tanda tangan rt – rw hingga kepala desa, sedang camat juga belum tentu begitu saja berkenan menanda tangani apalagi koreksi tangan kanan bupati yang acap kali berbelit – belit tiada kompromi.
….......
hingga negeri ini tak lagi terjajah oleh kemerdekaan
merdeka dari penjajah negeri sendiri
merdeka…..!!!
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar