Kamis, 16 Oktober 2014

Drupadi Namaku

Penulis Zamroni Allief Billah | Kamis, 16 Oktober 2014 | 18.30.00 |

Bermula dari kesalahan penulisan ketika Mbah Kung dulu minta surat kelahiran di pakdhe Carik. Kata Kung namaku Drupari terdiri dari dua kata Dru dan Pari mengambil dari nama ibuku Drumining dan nama bapakku Supari. Namun dari kesalahan pakdhe Carik inilah membawa keberuntungan padaku. Berkat nama Drupari akhirnya aku merasa menjadi perempuan jawa sentuhnya.

Aku tak tahu apakah jika namaku tetap Drupari bisa sepopuler saat ini.  Sepertinya telinga orang orang yang baru aku kenal lebih cepat menghafal namaku dibanding aku sendiri yang bahkan lupa jika aku Drupadi. Sebab di kampung tetap saja orang memanggilku Par atau Ri saja bukan Drupadi.

Kung selalu mewanti terhadapku bahwa sebagai perempuan jawa aku harus pandai dua hal yakni nembang dan nari, tentu setelah hal pokok yang mesti aku kuasai yaitu memasak.  Banyak waktu yang kami habiskan berdua hanya untuk belajar nembang ataupun sekedar belajar pegang sampur. Kung adalah guru pertama dalam hidupku yang mengajarkan tentang berbagai hal. Dalam pandanganku saat itu Kung adalah sosok serba tahu seolah dunia beserta isinya ada dalam genggamannya. Apapun yang aku tanyakan atau ada masalah sebesar apapun Kung selalu menghadapinya dengan sangat dingin, tenang.

Aku masih ingat ketika itu umurku 9 tahun, Kung menyuruhku melakukan puasa mutih tiga hari. Bapak saat itu bahkan sempat berselisih pendapat dengan Kung. Bapak khawatir jika aku melakukan ritual itu akan berdampak buruk bagi kesehatanku. Meski akhirnya bapak mengalah dan membiarkanku menuruti perintah Kung.

"Akan aku wariskan kepadamu seluruh kemampuanku kepadamu. Akan kubangkitkan satu jiwa dalam dirimu yang masih tertidur hingga saat ini.  Kau tak perlu mamang perihal kesehatanmu. Aku sudah menakarnya dan kau pasti mampu karena kaulah Drupadi," ucapan Kung saat itu yang masih aku ingat hingga saat ini.

Meski saat itu aku tak faham maksud Kung. Namun tumbuh keyakinan dalam diriku bahwa aku pasti mampu. Entah muncul darimana keyakinan itu namun satu hal yang pasti bahwa tidak pernah sekalipun Kung berbohong padaku. Apapun yang dikatakannya selalu benar bahkan untuk hal hal yang belum terjadi pun jika Kung sudah mengatakannya maka hal itu pasti terjadi.

Seluruh rambutnya memutih termasuk jenggotnya yang sedada juga putih berkilau serupa perak. Namun gigi Kung tetap utuh hingga akhir hayatnya. Bukan seorang dukun namun ketika tetangga butuh konsultasi Kung tidak pernah menolaknya meski tengah malam sekalipun. Mulai masalah hama tanaman hingga petung hari baik untuk menggelar hajat sunatan, nikahan atau hajat lainnya maka mereka akan konsultasi sama Kung.

Perjalanan pertamaku mampu terlewatkan dengan entah kekuatan siapa. Kecuali keyakinan dan kepasrahan yang diajarkan Kung. Lintasi plethek matahari hingga senja saga hanya dengan tiga kepal nasi putih. Sebelum lingsir sebagaimana anak-anak aku pun larut di medan permainan. Tak ada yang terlewatkan dari berburu kerikil di pasir, petak umpet hingga perang perangan. Dari jauh, Kung melihatku dengan sorot mata yang entah, tak mampu aku menafsirkannya. "Dasar.. anak anak," aku tahu pasti kalimat itu yang dia ucapkan. Sebab seringkali gumaman itu yang keluar saat aku bersamanya namun larut dalam keasyikan bermainku.

Matahari terbenam sebagai penanda bahwa perjalanan pertamaku rampung. Namun setelah tiga kepal nasi putih kulunaskan tubuhku seperti kehilangan keseimbangan. Linglung hilang kendali, hilang seluruh kekuatanku meski hanya untuk menopang tubuhku. Bahkan membuka mata saja rasanya tak mampu. Tak ada yang lagi terdengar, terasa, terlihat kecuali Kung. Aku masuk pada dimensi dunia yang entah. Pintu pertama yang benar benar membuatku bingung.

Suara suara orang di sekitarku menjadi suara Kung. Bangunan, buku buku, rumah, persawahan, gunung gunung beserta aliran sungainya tiada, hanya Kung. Kemana mata memandang dari arah suara datang dan pergi bahkan kepergian dan kepulangan menjadi tak ada beda. Semua hilang semua tiada tapi ada dalam satu bentuk satu wujud yang sama. Bahkan diriku pun hilang, tiada. Tak ada lagi yang mampu kuucapkan selain menyebut Kung. Pinta, sesambat, doa dan pengharapan tak ada beda. Bermuara pada satu kata dan menjadi tak penting mempertanyakannya. Keindahan yang tercipta dan kepedihan yang terasa menjadi kehilangan definisi.

Kung dan Drupadi pun sirna sudah di entah. Seluruhku hilang dan menjadi dirimu, Kung. Lalu apakah masih penting sebutan sebutan itu? Saat aku panggil namaku adalah aku sebut namamu jua. Hari esok telah kehilangan harapan sebab hari ini telah kehilangan jati diri. Pujian cacian pun demikian semuanya menjadi hampa hilang makna. Lalu jika semuanya menjadi demikian apa pula bedanya hidup dan mati?

"Drupadi, makanlah nak.... ini tiga kepal nasi telah Kung siapkan. Saatnya kau masuk pintu kedua. Puasa hari kedua saatnya dimulai nak,"

Perlahan aku bangkit, turuni anak tangga menuju sumber suara. Kekuatan itu telah kembali dan semuanya menjadi normal kembali sebagai sedia mula. Kulihat di sana Kung tersenyum penuh kasih sayang. Menungguku dengan sabar yang gontai berjalan. Lalu aku duduk di sampingnya tanpa berucap apapun. Segenap pertanyaan yang menggelayut sirna sudah saat Kung menatapku. Tba tiba saja aku mendengarnya seperti berucap. "Sudahlah.... lunaskan tiga kepal nasi ini. Masukilah pintu keduamu...."

Tidak..! Aku tidak mau lagi menuruti kehendakmu. Ini hidupku aku yang menentukannya hendak kubawa kemana. Aku bukan lagi Drupadi kecil yang mengekor apapun kehendakmu. Kalaupun ada pintu pertama maka itu sekaligus pintu terakhir bagiku.  Satu...... hanya satu dan tidak ada lainnya. Apakah kau tidak tahu bahwa aku ditakdirkan untuk melawan. Cukuplah kepatuhan selama ini mengikutkan segala kehendakmu. Memuaskan segenap hasratmu tapi tidak untuk kali ini.  Tidak pula masa masa yang akan datang. Kau tahu sebab akulah Drupadi.

Drupadi! Setan apakah yang telah merasuki jiwamu. Iblis apakah yang membuatmu lupa akan kewajibanmu. Kau adalah Drupadi, pewaris tunggal dari seluruhku. Tidakkah kau membaca pertanda? Kau jangan lupa nak bahwa dari tiap helai rambutmu adalah anyir darah dendam. Namun dari setiap tetes keringatmu adalah wangi melati kasih sayang. Dan tarikan serta hembusan nafasmu adalah angin kehidupan.

Tidak....! Aku tidak mau masuk dalam tipu dayamu. Aku adalah aku, perempuan biasa terlahir dari rahim ibu. Bukan pendar cahaya langit yang mewujud aku. Bukan pula sesiapa yang dari alam yang entah yang sedang mengejawantah. Sudahlah Kung.... biarkan aku menentukan jalanku. Menikmatkan segenap perjalanan yang hendak kulewatkan. Tidak tunduk patuh pada perintah siapapun. Aku adalah perempuan bebas yang akan pergi dan kembali sebagai diriku sendiri.

Baiklah Drupadi, jika itu inginmu maka lakukanlah. Tapi ingatlah bahwa sejauh apapun kau terbang taqdir akan menuntunmu kembali ke sarang. Sekuat apapun kau menghindar kau pasti akan kembali meniti. Ingatlah bahwa semua ini di luar kuasamu, kau terpilih bukan kau yang memilih. Meski kau meronta sekuat tenaga atau mengalir mengikutkan segalanya kau tahu kemana sungai sungai bermuara. Dan biarkan kau lewatkan pintu pintu berikut isi dan keindahannya namun kelak kau akan melewatkan pintu yang sama pula entah dengan jalan apa.

Satu hal yang sangat aku ingin saat ini, menemuimu sebagai kakek bagiku bukan yang lain. Terlalu dini kau membahas takdir pada perempuan kecil yang masih suka bermain ini. Meski kutahu beribu kali aku berusaha menikmati segenap permainan yang ada maka semakin hampa pula terasa. Terkadang aku iri melihat mereka teman sebaya yang melenggang riang dengan begitu indahnya. Berkejaran di pematang mengumpulkan belalang. Ataupun satu persatu di antara mereka bergantian naik garu lalu belajar menancapkan winih padi di tanah berlumpur.

Bukan menghafal kalimat sulit yang aku sama sekali tak mengerti artinya. Bukan menghafal satu persatu aroma bunga dan dupa. Bukan pula belajar hal hal yang barangkali aneh bagi perempuan seumuranku. Meski dengan segala hal yang terkadang tak kumengerti itu menghantarkanku pada sosok ibu. Mengobatkan segenap kerinduan akan perjumpaan. Menemukanku pada bapak atau pun ibu yang tak pernah kutahu wujud fisiknya.

Tidak ada komentar:

 

Permainan Tradisional


Permainan Lainnya »

Kembang Boreh


Kembang Lainnya»

Laesan


Laesan Lagi»
..

Misteri

Dolanan

Tradisi

Gurit

Kembang ~ Mayang

Puisi

Cer ~ Kak

Laesan

Gambar Misteri

Artikel Disarankan Teman