Tradisi (&) Menulis

Aku mengenal dua lelaki sepuh keren ini beberpa tahun lalu. Keduanya sama sama berambut gondrong (bagiku ini sebagai simbol semangat dan perlawanan).

Kedung Galar, Ngawi... Suatu pagi usai acara yang dihelat Kang Kusprihyanto pada malam sebelumnya.  Terasa masuk dalam belantara jati antara Sale, rumahku menuju Rembang kota kabupaten. Yang berbeda adalah lontong yang disuguhkan Eyang Hardho Sayoko lengkap dengan kasih mesranya.

Tuntas sudah aku melunaskan kerinduanku pada pengembara tua yang luar biasa itu.  Lelaki yang tak henti berpuisi dan 'ngrakit gurit'. Pengembara yang tak bosan mengingatkanku untuk selalu menulis dan menulis.... baginya hidup adalah kembara hati.

Satu kalimat yang tak pernah aku lupa adalah; Kemampuan yang diberikan Tuhan sebagai penulis adalah anugerah yang patut kita syukuri dengan cara tak putus mengamalkannya yakni dengan BERKARYA.

Beberapa tahun kemudian, ketika seni; Jaranan, Barongan juga Reyog menenggelamkanku dalam cinta tak berkesudahan aku dipertemukan lelaki hebat lainnya. Aku tak mengenalnya kecuali memanggilnya Dhe Uban. Barangkali sesuai dengan rambutnya yang mulai memutih seiring kematangan jiwanya.

Dari Dhe Uban aku mengenal akar cinta yang bermuara pada seni juga tradisi.  Seluruh hidupnya dia tasyarufkan untuk mengabdi pada seni, pada tradisi. Tak lelah ngancani, mendampingi sekaligus memberikan semangat berkesenian.

Kedua pendekar ini, bagiku memiliki kesamaan mendasar.  Mereka sama-sama tak punya rasa lelah dalam menjalani taqdirnya. Sama-sama kehilangan rasa bosan untuk mendampingi sekaligus mengingatkan generasi kini agar tak kehilangan jati diri.

Rembang...
Rabu, 5 Ramadlan 2014