Sabtu, 04 Februari 2012

Kesenian Sakral Laesan Kembali Dimainkan

Penulis Zamroni Allief Billah | Sabtu, 04 Februari 2012 | 08.50.00 | Location:Sluke, Indonesia


Kesenian Sakral Laesan Kembali Dimainkan

Sluke-Dies natalis Sekolah Menenngah Pertama (SMP) Negeri 1 Sluke menjadi saksi sejarah dimainkannya kembali seni tradisi Laesan. Seni asli Lasem yang telah mengakar sejak ratusan tahun silam ini masih meninggalkan penerus yang setia menjaga hingga kini.

Di Halaman sekolah tersebut malam itu tersaji sesajen Laesan lengkap. Kembang gading, kemuning dan sesaji lain serta iringan tetabuhan dengan bumbung, potongan bambu seukuran satu meter menjadi pengiring tembang laesan.

"La ilaha ilallah, Muhammadur rasulullah.." mengalun khidmat dari delapan penabuh. Kalimat itu menjadi tembang pembuka mengiringkan mereka menuju permainan tradisional yang sakral. Dua kalimat tauhid ini versi aslinya adalah ela elo la elolah, sebagaimana pengucapan dengan lidah jawa yang kala itu masih asing dengan pelafalan bahasa arab.

Jun, tempayan kecil dari tanah menghentak menerbangkan imaji pada masa ratusan tahun silam. Serupa auman singa saat lobang kecil jun itu mengeluarkan suara dari hentakan sandal bekas yang berfungsi sebagai pemukul. Irama yang dinamis menyatu dengan kepul dupa dan dingin malam.

Ela-elo menjadi tembang purwaka atau pembuka dari rangkaian seni mistis Laesan. Seni tradisi asli Lasem ini dalam hal wujud permainannya hampir mirip dengan Sintren. Namun Laesan dimainkan hanya oleh laki-laki sedang yang menjadi sintren adalah seorang perawan.

Laesan, ada beberapa versi yang memaknai kalimat ini. Kesuma Narendra, salah seorang tokoh spiritual Sale mengatakan ada kedekatan kata 'Laesan' dengan La 'aisyun turunan dari bahasa arab yang artinya tidak hidup. "Artinya dari permainan ini kita diajarkan tentang hakikat hidup itu sendiri. Bahwa sesungguhnya 'la aisya' tidak ada yang hidup kecuali Tuhan. Manusia hanya makhluk mati yang diperjalankan olehnya. Maka sebagai tembang pembuka adalah tembang ela elo yang merujuk pada dua kalimat tauhid La ilaha Ilallah," ungkapnya

Namun melihat kegarangan dari aura yang terpancar dari kesenian sakral ini, kata Kesuma, bisa juga turunan dari bahasa arab laitsun yang berarti singa. "Namun Laisan juga dekat dengan kata laisa yang bermakna tidak ada. Kesemuanya mengacu pada kegarangan menghadapi hidup dan pengakuan ketiadaan. Bahwa hanya Allah yang ada, selainnya tidak," jelas dia.

Kesenian asli Lasem ini sempat terkubur puluhan tahun dan jarang dimainkan di kalangan umum karena terkena stigma 1965, Sabtu malam lalu Laesan dihidupkan lagi secara berbeda oleh satu-satunya kelompok laesan yang tersisa dari Desa Soditan Lasem pimpinan Ngalim (62) dan Munadi (65) berkolaborasi dengan Komunitas Kethek Ogleng dan Gentong Miring Sluke. ''Permainan yang asli sang pemain Laesan akan dadi (trance, red). Namun karena kondisi dan situasi saat main di SMP Negeri I Sluke tidak memungkinkan, laesan kami mainkan tanpa trance dan berkolaborasi dengan pembacaan puisi. Kolaborasi dengan puisi sangat cocok karena intisari permainan laesan adalah syair,'' kata Munadi.

Ngalim menjelaskan, Laesan yang asli memiliki empat babak besar permainan. Sesi pembuka adalah ela elo. Pemain dikerangkeng lalu dimasukkan ke dalam kurungan. Selama babak Ela-Elo yang merupakan simbol manusia ada dalam genggaman dan ikatan dunia, seluruh pemain Laesan tanpa kecuali menyanyikan syair la illah ha Ilallah iki sari laes secara berulang-ulang.

Dilanjutkan babak kedua Uculna Bandanira, simbol pelepasan manusia dari ikatan belenggu dunia. Seluruh pemain ganti menyanyikan syair uculno bondoiro iki sari laes, dunung Allah dunung, sopo iso nguculno kejaba Pengeran iro, iki sari laes juga secara berulang. ''Sesi ini ditandai dengan kurungan bergerak-gerak. Pertanda Laesan telah trance dan lepas dari ikatan yang tadi membelenggunya. Pemain laesan lantas akan keluar dan menari keliling arena di dampingi dua pengawas,'' kata Ngalim.

Dia menambahkan babak ketiga dari Laesan adalah babak permainan yang menyimbolkan berbagai kehidupan manusia. Misalnya permainan yang diiringi syair Kembang Gedhang dan Jaran Dawuk, penari laesan yang sudah keluar dari kurungan, dengan menyentuh penonton yang dikehendaki seketika itu pula penonton langsung trance juga. ''Ada juga permainan dengan syair Luruo Sintren dan Lereng Lereng. Luruo Sintren dipercaya bisa menyembuhkan penyakit orang yang dipegang laesan. Sedangkan Lereng Lereng dipercaya bisa menghilangkan segala tuah gaib senjata,'' terang dia.

Babak terakhir dari Laesan disebut dengan nama Lara Tangis, simbolisasi kematian manusia. Selama babak ini, seluruh pemain khidmat dan hening menyanyikan berulang-ulang syair, ana tangis layung - layung, larane wong wedi mati. sapa bisa ngelingna, kejaba Pengeran nira.

Babak ini adalah sesi pungkasan. Mengaum jeritkan tentang sakitnya kematian. Oleh karenanya ajaran yang terkandung di dalamnya adalah bagaimana seorang manusia harus senantiasa merasakan ketiadaannya. Hanya Tuhan yang ada sehingga seluruh perjalanan hidupnya akan selalu dituntun oleh penjaga yang dalam Laesan digambarkan sebagai dua orang yang selalu menjaga penari laesan. Dan iringan musik sederhana mengalun syahdu menyapa setiap dada hingga permainan usai ditandai pemain laesan kembali tersadar.

Tidak ada komentar:

 

Permainan Tradisional


Permainan Lainnya »

Kembang Boreh


Kembang Lainnya»

Laesan


Laesan Lagi»
..

Misteri

Dolanan

Tradisi

Gurit

Kembang ~ Mayang

Puisi

Cer ~ Kak

Laesan

Gambar Misteri

Artikel Disarankan Teman