sembah tetirah
sungkem mendem
kilat menggulita digelap kota
menggandengku ke kamar kecilmu yang biasa kau bersembunyi disana bercumbu dengan bayangan samar yang kau kira selalu ada disana datang mendendang bersama mantra yang kau kumandangkan beriring semerbak kembang setaman dan baubau dupa yang tak pernah berhenti mengepul kala kau memuja.
kau bahkan selalu bicara jika kau tak menemu-nya dikesunyian yang berusaha kau pandang wujud sepi dari matamu yang sebenarnya belum sepenuhnya mampu menemu.
lalu dengan bunga tujuh rupa bersama mantra yang kau rapal hinggapun hafal manalah mampu mulutmu bicara tentang wujud yang hanya hati yang telah benarbenar sepi nyawiji yang bisa mengantarkanmu pada dia tak pernah sembunyi dari para pencari
sedang kamarmu masih berarak mega dan teja saling silang menggiring gelombang hingga sunyimu tak lagi sepi bahkan kaupun tak lagi mampu menjadi dirimu sebagaimana harusnya dirimu dihadir wujudkan sampai saat kaupun mencari wujud hadirmu yang mewujud sujud.
lilin telah kau nyalakan didinding kamarmu yang bahkan mulai menghitam oleh asap dupa mungkin juga oleh mantra yang menempel dimulutmu hingga berbusa dan hanya memenuh sesaki kamar sempitmu yang makin menjepit saja sebab tak lagi aroma dupa ini mampu menggapai hati.
bagaimana aku menolakmu untuk lagi menyalakan dupa yang telah kau persiapkan bersama beberapa orang yang katamu kau ajak memuja dihari kedua.
telah hafal rupanya mereka melafalkan mantra yang sama dengan yang kau baca walau sepertinya akupun tak asing dengan lagulagu yang kau dendangkan mengiring dupa dan mantra namun bahkan sulit aku menemu maksud apakah sejatinya kau berkumpul bersama mereka dalam kilat digelap kota dipojok rumah dikamar pengapmu
dan bagaimana aku bicara padamu jika tak guna mantra kau percepat kilat dalam rangkaian sujud sembah
jika kau benar mencari harusnya dengan hati
tak benar bila mulutmu saja yang berbusa bahkan hingga halangi embun menetes basahi rasa
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar