suratsuratmu yang kau simpan enggan kau buang tak juga jelas alamatnya hendak kau tujukan padaku atau bukan. satu persatu atas izinmu kubuka lembaranlembaran yang mulai usang dari tanggal pertama surat kau buat delapan tahun yang lalu saat mungkin bangku kosong ditaman ini bahkan belum terisi.
membalut seluruh suratmu yang sama sekali tak satupun yang beralamat dan bersampul
hanya kau lipat rapi urut berurut sesuai tanggal dimana kau buat. kain warna ungu ini yang membalut sekeranjang sampah surat darimu nampak dari halusnya berbahan sutra hingga taklah nampak keranjang apalagi tumpukan gelisahmu yang tertoreh dan kini menumpuk dikeranjang sampah berbalut sutra ungu
selendang biru kau menyebutnya, namun tetaplah ini ungu bagiku. boleh apapun kau menyebutnya namun sutra ini tetaplah tak berubah walau kau toreh warna apa juga.
tiga hari belumlah cukup bagiku membuka risalah yang telah delapan tahun lamanya hingga hari ini Kamis 2 Ramadlan 1431 H masih saja kau berusaha sempurnakan katamu padahal tersia waktumu dan seharusnya hentikan saja sebab taklah ada kesempurnaan itu sebagaimana kau tangiskan padaku.
usah ceritakan lagi resahmu padaku sudah setengah bahkan hampir selesai kubaca tumpukan suratmu disini ditaman yang sering aku ceritakan lewat puisipuisiku.
dulu ditaman ini sering kita lewatkan bersama saat menanti pagi mengiring malam dengan cengkerama doa. kini kosong tinggal aku sendiri bahkan kaupun pasti tak mungkin ingat lagi kala kau kembali jumpaiku disini.
tentang surau tua diujung sana juga mbok minah janda tua penjual gorengan yang dulu selalu ada dan menganggap kita sebagai anaknya karena terlalu seringnya kita mengakrabi kesendiriannya, juga selalu kita bercengkerama dengan mbok Minah yang hidup sebatang kara.
kini bila kau kemari pastilah pangling sebab semua yang pernah terlewatkan oleh kita kini tinggal cerita.
usaplah matamu yang sembab aku tak mau mendengarkan tangismu lagi sebab disini ditaman ini akupun meratapi nasib sendiri tanpa kau dia dan kenangan kita. semua hilang tinggal cerita kecuali kau dan gelisahmu yang masih nyata adanya
kemarilah mari kita bakar saja sekeranjang sampah ini biarkan mengabu.
bila kau ingin mengenang datang saja ditaman ini yang kinipun bahkan hilang tinggal cerita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar