Lendy temui aku tak lagi di Blitar di makam Soekarno

kau ulurkan tangan kekarmu padaku mula kita kenalan dahulu bahkan saat aku masih tergeletak di amben reyot yang selama ini menopang tubuhku yang belum lagi sembuh tiada daya melawan entah virus apakah hingga membuat seluruh daya yang ada padaku hilang walau tak benarbenar musnah

nyatanya masih bisa kusambut salam sapa dan uluran tanganmu
walau tak sedemikian jelas mataku melihatmu namun getar rasamu begitu kuat mengakrabi keterasingan dari masingmasing kita yang sama sekali tak pernah jumpa hingga memadukan kita bagai kawan lama yang kini bertemu dalam jumpa

kau ceritakan padaku tentang Soekarno bukan lagi tentang kuburannya yang terletak tepat disamping rumahmu yang sesekali katamu kau berkunjung kesana untuk bercerita dan berkeluh kesah pada kuburan yang selau mendengarkanmu dan menyambutmu dengan hening. Bahkan kau tak peduli pada peziarah yang kebingungan melihatmu meraung sambat menangis bagai bocah yang kalah bertanding gangsing dengan temannya lalu pulang mengadu bahwa dia kalah dan dihina oleh kawan lawan mainnya.

kau tak peduli katamu pada orangorang yang hanya kesana manakala ketika hendak mencalonkan diri sebagai presiden, anggota dewan dan tidak sedikit calon bupati dan camat. namun setelah pulang bahkan mungkin saat jadi pemegang kuasa mereka lupa pada siapa sebelun ini dia sempat matur memohon idi pangestu.

seharusnya malu bila tidak mencontoh Soekarno saat mereka berhasil memimpin negeri atau bagian kecil dari negeri ini bukan justru mencampakkan Soekarno dalam kubangan ambisi. itulah katamu yang membuatmu menangis hingga bahkan tak peduli orangorang bingung melihatmu

kini kau jumpaiku disini berkenalan dengan sederhana dan katakata biasa namun sangat berkesan katamu sebab kau tak lagi di Blitar dimakam Soekarno.