Sebuah kata yang tidak lagi asing ditelinga “I’TIKAF” dan barangkali lebih sering akrab ditelinga pada saat bulan ramadlan. Ya’ni berdiam diri dimasjid dengan meniatkan diri untuk beri’tikaf lillahi ta’ala.
Apa sebenarnya beda antara kita berdiam diri dimasjid dengan tempat selain masjid ? bila hanya mengambil “berdiam diri” maka sesungguhnya tak ada bedanya anda dimasjid atau ditempat lain.
Maka selalu niat yang menjadi patokan awal manakala kita hendak melakukan sesuatu oleh karena itu menjadi penentu dari setiap apa yang kita kerjakan termasuk hasil yang nanti barangkali akan kita dapatkan
Seperti saat ngabuburit dua hari yang lalu kang Zaenal tibatiba datang kerumah mengajak saya ke sebuah tempat wisata yang dekat dari rumah, ada sebuah kolam yang airnya begitu jernih disana dan terlihat bocahbocah riang bermain air entah menunggu bedug maghrib atau sekedar bermain saja.
Sebuah wana wisata yang disana tegak berdiri pohon pohon yang usianya ratusan tahun menjulang tinggi beserta hewan hewan yang memang sebagai penghuninya. Mulai burung hingga kera dan banyak lagi yang tidak saya ketahui. Saya hanya berdiam saja bukan mencoba merenungi hanya berusaha menikmati kahanan dan sesekali melirik jam tangan barangkali waktu maghrib sudah tiba.
Kang Zaenal tiba tiba mengagetkan saya dengan sebuah pertanyaan yang tidak pernah saya duga. “saat berada disini melihat anak anak beserta seluruh yang ada apa yang terlintas dibenakmu ?” saya hanya mengerenyitkan dahi menelisik sesuatu hal apakah dibalik tanya sahabat disebelah saya ini. sebab selain keindahan anugerah Allah serta sebuah penantian untuk berbuka lalu apa lagi ?
Melihat saya diam kang Zaenal serta merta melanjutkan tanya “bagaimana penjelasanmu mengenai Allahu maujudun fi kulli syai’ ?” satu tanya belum terjawabkan ditambah lagi dengan rentetan tanya.
Saya tak hendak menjelaskan jawaban saya atas pertanyaan kang Zaenal disini, hanya barangkali inilah yang membedakan saya dengan sahabat saya tersebut. Kami berada dalam sebuah tempat yang sama namun karena sedari awal barangkali niat kang Zaenal adalah untuk bertdabbur melihat tak sekedar keindahan ciptaan Allah tapi berusaha mengkomunikasikan hati dengan keadaan yang sedang dan akan ditemui sepanjang perjalanan hingga dititik tuju ditempat wisata dimana kami berada.
Saya hanya ingin menyampaikan walau tidak bermaksud menjelaskan karena semua sudah sangat jelas, bahwa niat selalu menjadi pijakan pertama dalam kita hendak melakukan sesuatu hal.
I’tikaf bisa dilakukan kapan saja tanpa ada batasan waktu baik itu ramadlan atau bukan akan tetapi tidak bisa dilaksanakan kecuali di masjid. Saya tidak hendak menyampaikan pendapat saya tentang I’tikaf tetapi hanya mau menyampaikan yang saya peroleh saat bercakap dengan kang Zaenal selepas tarawih.
Malam dimana sorenya kami bersama menanti waktu berbuka disebuah tempat wisata. Kang Zaenal menyampaikan sebuah ayat pada saya saat memulai percakapan malam. Surat Al Baqoroh ayat 187
وَلَا تُبَاشِرُوهُنَّ وَأَنْتُمْ عَاكِفُونَ فِي الْمَسَاجِدِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلَا تَقْرَبُوهَا كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ ءَايَاتِهِ لِلنَّاسِ لَعَلَّهُمْ يَتَّقُونَ
Dan janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri`tikaf dalam mesjid. Itulah larangan Allah, maka janganlah kamu mendekatinya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia, supaya mereka bertakwa.
( QS.Al-Baqarah : 187 )
Inilah barangkali yang sangat membedakan kawan saya yang satu ini dengan sebagian besar sahabat – sahabat saya yang lain. Dia menyampaikan bahwa tak sekedar kita berdiam dan memperbanyak amalan dhohir saat kita sudah meniatkan untuk beri’tikaf, akan tetapi bagaimana kita mengkondisikan hati benar benar kandek berhenti sebagaimana makna awal I’tikaf secara bahasa.
Kita hentikan benar benar tentang laju bathin yang selama ini senantiasa kita biarkan simpang siur menilai bahkan menghukumi akan Allah dan keputusan keputusannya. Tanpa sadar atau bahkan kadangkala sengaja kita komplain terhadap apa yang di tetapkan Allah buat kita, terlebih saat ujian datang maka acapkali kita membiarkan diri dan hati mengembara ke sembarang lembah yang tak jelas rimbanya sehingga kita terhanyut oleh pola fikir dan barangkali boleh disebut nafsu. Sebab saya sendiri bingung kata kang Zaenal bila menyebut ini dorongan nafsu sebab saya merasa seluruh hidup dan hati saya masih selalu terkendali dan terkekang oleh nafsu katanya.
Subhanalloh entahlah yang saya rasakan saat mendengar uraian kang Zaenal rasanya semakin kecil saja diri ini betapa disetiap hari bahkan detik, kenikmatan dan anugerah diturunkan oleh Allah akan tetapi terkadang oleh permasalahan sepele saja dengan mudah menghukumi dengan cepat ambil megaphone dan berteriak keras keras “Allah tidak adil….!!!”
Ini pendapatku lo kang… kata sahabat saya itu, bila kau punya pendapat lain terserah lah. Tidak untuk kau amini namun barangkali hanya ungkapan hati yang memang beginilah adanya saya dan barangkali kita, ucapnya sambil tertawa ringan
Lalu dia menyampaikan bila I’tikaf hukumnya sunah terlebih disepuluh hari yang terakhir di bulan ramadlan hal ini sangat dianjurkan
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا زَوْجِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللَّهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ (رواه البخاري )
Adalah Nabi saw I’tikaf di setiap sepuluh hari yang akhir di bulan Ramadhan sehingga Allah mewafatkannya, kemudian istri-istrinya beri’tikaf sepeninggal beliau. (Bukhori)
Lalu kang Zaenal menambahkan beberapa hal untuk saya
Hal-hal yang berhubungan dengan orang yang I’tikaf :
Yang dianjurkan : memanfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya untuk berdzikir, membaca Al-Qur’an, muhasabah dll yang bermanfaat.
Yang dilarang : keluar masjid kecuali udzur, menggauli istrinya, dan melakukan perbuatan dosa dan haram (ghibah, tajassus, memandang yang haram dll).
Yang harus dihindari : melakukan perkara mubah yang tidak ada manfaatnya (banyak bercanda, ngobrol yang tidak ada gunanya bahkan mengganggu konsentrasi I’tikafnya, banyak tidur dll).
Yang dibolehkan : keluar dari Masjid tempat I’tikafnya untuk buang hajat, makan-minum jika tidak ada yang mengantarkannya, mencuci pakaiannya, berobat jika sakit, merawat keluarganya yang sakit jika tidak ada yang lain dll.
Karena waktu sudah malam kang Zaenal mengakhiri perjumpaan malam itu dengan menyampaikan sebuah hadirs
أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ( مسلم 760 )
Barang siapa yang berpuasa ramadhan karena iman dan mengharap pahala dari Allah, maka diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu. Dan barang siapa yang menghidupkan malam Lailatul Qadr (dengan ibadah) karena iman dan mengharapkan pahala dari Allah, maka diampunkan dosa-dosanya yang telah lalu.(HSR.Muslim)
Wallahu a’lam bish showab.(zam)
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar