Minggu, 28 November 2010

Pemerah Pipi Kirani

Penulis Zamroni Allief Billah | Minggu, 28 November 2010 | 19.28.00 |
Pemerah Pipi Kirani

Kirani, bahwa masih tertinggal merah sisa lipstik dari kecupmu saat malam terakhir sebelum pergimu, di lembar kertas yang kau tinggalkan. Tanpa sedikitpun kata, kucoba terjemahkan dari tiap yang ada menjadi kalimat terakhirmu sebagai pesan yang utuh tanpa aku mengurangi oleh sebab pedihku atau kutambahi oleh karena cintaku.

Kulihat Kecoa seperti tersenyum menertawakan kebodohanku yang tak juga mampu mengurai cintamu yang kau tinggalkan jejak merah di putih kertas yang erat kudekap.

“Bodoh! Kau tak akan pernah fahami, sebab kau tak pernah sesungguhnya mengerti.” terhenyak, mendengar umpatan yang tiba-tiba, meraba mulutku sendiri barangkali…
“Kau gila!” kegilaan apakah yang dia tahu kecuali selembar kertas yang sama sekali tak pernah kumengerti? lalu kulihat Kecoa yang sedari tadi di sebelahku, menyeringai.

“Bahkan kaupun tak mendengar, jika aku yang di sebelahmu ini bicara padamu!”
“Kecoa sialan!” kuambil pena hendak kutusuk matanya hingga tak melihatku dengan pandangan yang tidak menyenangkan padaku.
“Bunuhlah aku, setelah aku sampaikan sesuatu yang tak pernah kau mengerti!”
“Tentang?”

“Tentang bahwa kau tak pernah fahami tentang sesungguhnya Kirani selalu menyanyi di tiap saat malam datang menjemputmu dan kau tak pernah bisa untuk memejamkan mata sebelum dia nyanyikan kidung kehidupan untukmu,” Kecoa terengah menahan nafas.
“Lalu, apakah kau telah fahami tentang kenapa dia kini pergi meninggalakan setapak jejak yang tak pernah kau fahami kecuali penyesalanmu atas kepergiannya tanpa pernah mau fahami bahwa dia telah pergi meninggalkanmu bukan karena dirinya tapi karena dirimu!”

“Karena diriku? Ah sungguh aku tak mengerti, bagaiman bisa bila telah berikrar akan senantiasa bersama dan selalu berbagi di siang juga malam, tibatiba menghilang tanpa pesan?” aku mengumpat sendiri dalam hati

“Itulah kebodohanmu, selalu melihat sesuatu dari bukan sudut pandang orang lain, akan tetapi selalu dirimu dan seluruh kemenangan, kegagahan atas nilai yang kau patok sendiri tanpa pernah memahami bahkan dari seorang yang kau bilang kau cintai!”

“Aku mencintainya!” aku berteriak.
“Gombal! Kau tak pernah mencintai kecuali dirimu sendiri, kau tak pernah mau mengerti kecuali duniamu sendiri.”
“Keparat!” kuangkat lagi penaku hendak kutusukkan sekalian pada jantungnya, tapi dimana? Kecoa ini telah benar-benar membuatku marah.

“Tahan dulu hingga aku selesai bicara.” Kecoa seperti mulai kehabisan tenaga, memakiku dengan sedemikian rupa.
“Kau tak pernah mengerti bahwa sesungguhnya Kirani pergi karena dia tidak ingin meliatmu bersedih saat dia menghadapi takdirnya.” aku tak mengerti maksudnya namun tak berani bertanya, kulihat dia tersengal dan payah berkata.

“Dia pergi, bahakan saat ketika tak hanya dia tak mampu lagi bicara, menulispun dia tak lagi kuasa hingga hanya tinggalkan jejak merah di putih kertas yang mestinya kau mengerti.” Kecoa terdiam, dan tak lagi bergerak. Kuambil kertas, perlahan kuletakkan dia di putih kertasku kudorong dengan pena yang sedari tadi kupegang.

Entah kemana, di kertas putihku dimana dia kubaringkan dengan pena, dia menghilang, tidak ada kecuali jejak merah, tak hanya pewarna pipi selain gambaran bibir seksi di kecup terakhirmu, kulihat mengering di sana, entah air mataku atau sisa tangismu, Kirani.


Kirani, tersenyumlah kau di alam sana bersama bidadari di kesunyian.
Sungguh, aku telah bahagia di sini menjalani hari dengan puisi, di merah pesanmu dalam putih kertasku.


Rembang, 28 November 2010

Tidak ada komentar:

 

Permainan Tradisional


Permainan Lainnya »

Kembang Boreh


Kembang Lainnya»

Laesan


Laesan Lagi»
..

Misteri

Dolanan

Tradisi

Gurit

Kembang ~ Mayang

Puisi

Cer ~ Kak

Laesan

Gambar Misteri

Artikel Disarankan Teman