Belum berhenti kau menari dan kutak pernah tahu akankan kau berhenti. kau selalu menginspirasi dengan tembangmu juga liku lekuk hasratmu yang gemulai terbesut rindu
Kaulah sinden
Walau tak nyaring namun kau tak pernah berhenti menyayi, lagu lagu kehidupan mengalun syahdu dari ranum bibirmu yang selalu basah. Kau selalu mampu mencipta tangis dan tawa dalam nada
Menyanyilah
Itu hidupmu tak kan mampu siapapun menghalangi sebab kau tak pernah peduli. Tak sesiapa yang fahami tangismu kecuali tangisku. Sebab tangis kita tlah bersua dalam nada yang mengiring nyanyian hati sepanjang sunyi.
Aku yakin kau tetap teguh dalam janji suci sebab tak ada yang mampu meniti lagumu kecuali diriku yang kau rela aku mengejanya
Sanggulmu yang rapi terpatri sepi, kebaya suci serta jarit imaji yang tutupi keangkuhanmu itu adalah warisan keteguhan dan tak pernah tanggal dari tubuh mungilmu kecuali saat itu. malam mengiringmu dalam hayal dan berjanji mengantarmu pada gelap sepanjang harap
luruh dalam nada iringkan senandungmu seperangkat gamelan yang tak pernah ada. Air mata dan desah kepedihan menjadi serunai mengalun syahdu mengiring nyanyian rindu yang sepanjang harap kau menanti
mabuk
Sebelum sadari betapa malam tak kan pernah terhenti kita biarkan diri terbakar dalam nyala sebab dinginnya hati membuatnya menjadi begitu beku hingga tiba – tiba kita menjadi rindu akan ilalang yang membentang dihalaman belakang yang dulu selalu kita kunjungi bersama hayal
Terhampar hijau bagai permadani dan lihatlah disana dibawah batu itu diiringkan tetes air yang tak pernah henti. aku memelukmu dengan erat seolah tak akan pernah terlepaskan lagi lalu aku membisikkan tanya dalam telingamu “Jasmine apakah yang kau rasakan”
Kau hanya diam tak menjawab namun detak jantungmu telah mengatakannya padaku bahwa inilah saat yang kau rindu. lalu kita menyusuri sepanjang rasa yang terhampar dibelakang rumah hingga tak sadari ada sepasang mata iri mengawasi. lalu kau mengusirnya manja. Dia pergi dan tak pernah kembali hanya sesekali mengeong berharap kau segera mengakhiri
Kini
Bagai terlempar ke masa indah itu saat kita melongok halaman belakang rumah hingga tak sadari bahwa masing masing tlah punya rumah sendiri.
Dinding dindingnya yang mulai rapuh oleh usia tak seharusnya kita biarkan gelisah membakarnya. Ataukah justru kita yang telah tega menyiramkan bensin dihalaman rumah yang kian usang menuju senja ?
Masih mabuk
Hingga saat kau terperangkap janji malam kau selalu membawaku kehalaman belakang kau membawaku menyusuri sepanjang malam kau mendekapku dengan rindu bersemu ragu dan itulah malam pertama saat kau memohonku dalam ragu setetes harap. dalam merah darah aku persembahkan demi dan atas nama masa lalu
Kaupun kian erat mendekapku dan kita benar benar terbuai malam hingga kita remas dunia menjadi serpihan serpihan kecil dalam genggam kita. lalu kau lepas dekap manjamu dan kita biarkan malam meramu sepi mengiring kita menyusuri rerumputan yang menyatukan kita dalam hijanuya yang meremang oleh malam dan menahan kita sepanjang malam dan tak pernah kembali kecuali dengan sebuah senyum kemenangan yang tak pernah kita mengerti. Aku sempat membisikkan janji padamu “aku kan rapikan rumput rumput itu” dan kau tertawa manja seperti biasa tapi kau menahanku melakukannya kau ingin aku membiarkannya tetap menghijau ditempatnya
Aku milikmu dan kau milikku
dengan sayapmu lalu terbang ke awang menyusuri angkasa hingga puncaknya. Kau curi buku takdir yang telah tertoreh kuasa.
tiba tiba aku melihatmu begitu kuat dalam kuasa kau sertakanku mencoret coret kemudian bakar catatan tentang kita dan membakar langit hingga menjadi jingga dan relakan diri kita terbakar disana. lantang kau berteriak pada semua “aku yang tentukan taqdirku”
bagai terhipnotis aku tunduk lesu mencium kaki mungilmu. kita patri hati dalam satu ikrar bahwa kita saling memiliki. Kita tlah benar benar menjadi malam dan tak perlu lagi gelap itu. Inikah yang kita ingin ?
antara ragu dan rindu aku selalu menyebutmu dalam setiapku aku habiskan hampir seluruh waktuku dihalaman belakang menikmati hamparan rasa yang tergelar bagai permadani. Sebab rumput rumput itu selalu memanggilku dalam setiap siang juga malam dan membawaku selalu ingin mengunjunginya
pertaruhan rasa
kau selalu tawarkan mimpi tak hanya dalam tidurku namun senyummu mampu membawaku menyusuri mimpi dalam jagaku. atas nama rasa aku tanggalkan baju baju logika yang menungkungku tetap didunia
tiba tiba aku sebegitu muaknya dengan dunia aku menikmati mimpi dan menyusuri rasa yang tergelar dalam tautan imaji aku berlari sepanjang hari meninggalkan kata dan logika demi memburu masa lalu.
Aku telah mencipta banyak syair untukmu. Nyanyikanlah demi rindumu yang memburu bila sekali saja kau kidungkan tembang itu maka bunga bunga dihalaman rumah yang tak lagi pernah kau sentuh akan bermekaran dan mengisi ruang sepimu. Kutahu hanya sesekali saja mata nanarmu kau paksa memandangnya sebab gersang tlah pedihkan mata hingga tetesan itu menjadi darah mengisi guci guci kemunafikan yang kita pertahankan
Rumah tua ini menjadi saksi ketidak adilan kita dalam meniti mimpi. Kau urai mimpimu menjelajah ruang ruang sepimu kau tanam beribu bunga dihalaman belakang hingga semerbak wanginya selalu mengantarkan jiwa jiwa kering ini melanglang kemanapun mau.
Hingga pertumpahan darah itu terjadi saat rasa menuntut agar kita adil membagi cinta sebab terhampar dihalaman belakang aneka bunga dan warna sedang halaman depan tak pernah lagi tersentuh harap. Lihatlah rumah tua ini makin senja meniti kegelisahan tak berujung
Dalam galau kau menuntunku menyisir mimpi sepanjang pantai ini. Berharap gelombang kan hempaskan gelisah dan segera menukarnya dengan mimpi yang baru. Namun camar telah membisikkan kebenaran sedang karang karang itu juga ajarkan keteguhan dan berharap agar kita segera menepis malam berganti pagi
Senin, 28 Juni 2010
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar