Rabu, 01 Juni 2011

Namaku Shu

Penulis Zamroni Allief Billah | Rabu, 01 Juni 2011 | 06.35.00 |

Sebab Aku Perempuan

Setidaknya aku pernah merasakan bagaimana menjadi perempuan, mencintai dan dicintai walau akhirnya dicampakkan. Arimbi, kepada anak perempuanku satu – satunya inilah aku menaruh harapan besar bahwa dia kelak akan menjadi sebenar perempuan tidak sepertiku.

Kau salah bila mengira aku tidak memiliki keinginan sebagaimana perempuan normal, namun  aku telah mampu membunuh hampir seluruh perasaanku untuk kembali mencintai apalagi berharap rasakan dicintai oleh seorang laki – laki. Juga rinduku akan belaian hujan ketika mendung sudah mulai datang. Petir dan halilintar bagiku kini tak lagi menjadi pertanda sebab untuk perempuan sepertiku tak ada beda antara panas dan hujan.

September tahun depan umurku sudah kepala empat, dan itu berarti Arimbi sudah lulus dari SMA. Sudah banyak yang barangkali selama ini dia pertanyakan walau tak berani disampaikan. Selagi masih mampu akan kucoba mengalihkan maka aku tak perlu menjawab perihal pribadi karena terlalu menyakitkan bagiku.

Bisa membiayai dia hingga kini adalah kegembiraan tak terukurkan. Kesibukanku bekerja sedikit melupakanku dari kesakitan – kesakitan dan penghianatan dari orang – orang yang sangat aku cintai.

Mas Prapto, kakak tertuaku adalah sosok yang begitu anggun dan penyayang. Bahkan ketika seluruh keluarga tak ada yang merestui bahkan menghujat hubunganku dengan Wijaya, lelaki keturunan cina, mas Prapto tampil sebagai pembelaku dan merestui hubunganku hingga lahirlah Arimbi atas restunya.

Wijaya, lelaki yang selalu membuatku mampu merasa menjadi seorang perempuan sejati. Senyumnya selalu menguatkanku dan mampu memberiku semangat untuk terus bangkit dan berjuang memperbaiki diri. Hingga aku sungguh merasa akulah perempuan paling beruntung di dunia ini, memiliki lelaki tampan dan penyayang.

“Hanya sampai disini, aku tak bisa lagi melanjutkan ceritaku,” ucap perempuan itu kepada lelaki di sebelahnya. Pada akhirnya, lanjut ia, aku merasa bahwa tiap manusia memiliki masing – masing kisah yang barangkali cukup dia sendiri yang tahu.

Lelaki kurus berambut sebahu dengan asap rokok yang tak pernah putus dari mulutnya, membolak balik lembaran kertas lusuh yang berisi tulisan tangan tentang kisah pribadi Shu, perempuan yang dia kenal lewat pertemuan yang tidak disengaja. Entah apa yang difikirkannya, lelaki itu memandang hamparan tegalan yang dikelilingi hutan jati.

“Shu, aku sungguh tertarik dengan segenap kisahmu, juga tentang pilihan hidupmu untuk hidup menyendiri dalam hutan hanya berkawankan binatang malam dan segenap kesepian yang melingkupinya.”

Menyandarkan kepalanya di dinding gelam, perempuan itu menarik nafas panjang matanya kosong memandang tanaman jagung yang mulai berbunga yang kini menghiasi petak tegalan miliknya sejenak kemudian berpaling kepada lelaki di sebelahnya dan tersenyum.

“Itu sebabnya kisahku tak jadi kulanjutkan, biarkan semua menguap sebagaimana ketidakmampuanku meneruskan kisah,” katanya.
“Namun, aku sungguh mengagumi caramu hidup dan melanjutkan kisah ini. Justru aku bangga dengan segenap petualangan yang kau lakukan kini. Seorang perempuan tinggal dalam gubug di tegalan yang dilingkup hutan jati, tanpa ada sedikitpun penerangan kecuali ketika bulan sedang purnama. Sungguh kau benar – benar orang Rembang sejati”
“Maksudnya?” perempuan itu menimpali
“Coba kita tengok sejarah, bagaimana tetangga kita Brandhal Naya Gimbal memilih mengasingkan diri di tengah hutan Ngajaran lalu memimpin pergerakan dan pemberontakan kepada pemerintah kabupaten Rembang yang telah menjual diri kepada belanda, dan banyak kisah yang lain tentang tokoh lain di sini. Kaulah orang Rembang sejati seorang perempuan petualang yang mempertaruhkan hidupnya dalam kesendirian demi seorang putri”

“Sutini telah mati, yang ada kini adalah Arimbi, kupertaruhkan hidupku agar kelak Arimbi akan melanjutkan kisahku dan tak lagi mengulang kisah pilu yang menimpaku,” tampak menetes air mata dari dua sudut mata tyrusnya.

Dua puluh tahun lalu, kata perempuan itu, ketika Wijaya, orang yang paling aku cintai dengan tanpa alasan tiba – tiba meninggalkan kami hanya meninggalkan selembar kertas yang bilang bahwa dia tak akan pernah kembali “Lanjutkan hidupmu walau tanpa aku,” ucap perempuan itu mengenang kalimat terakhir di baris yang ditinggalkan suaminya.

Sungguh betapa hancur perasaanku saat itu, ketika mulanya aku tak peduli dengan apa kata keluarga dan tetangga. Mereka mengkhawatirkan bahwa suatu saat aku akan ditinggalkan oleh Wijaya, suamiku yang tidak jelas asal usulnya. Benar juga, setelah semua mengucilkanku, Wijaya orang yang sangat aku cintai tiba – tiba meninggalkanku tanpa alasan.

Atas saran mas Prapto, kutitipkan Arimbi dan aku meninggalkan Indonesia untuk pergi ke Malaysia. Tepat setelah dua tahun setengah aku kembali ke Indonesia untuk melepas rinduku pada Arimbi, bocah kecil dengan mata sipit seperti ayahnya setelah sekian tahun dalam asuhan pamannya terlihat agak kurusan namun terlihat sehat dan ceria.

Kupercayakan seluruh keuangan pada mas Prapto untuk mengelola, semua rekening di bank atas namanya. Semuanya baik – baik saja dan memantapkanku untuk kembali untuk kali kedua ke negeri Jiran mengumpulkan uang agar bia menyekolahkan Arimbi setinggi – tingginya agar masa depannya lebih baik dariku.

Perempuan itu kembali menarik nafas panjang, dan terlihat matanya mulai merah, mengenangkan kisahnya. Sedang lelaki di sebelahnya hanya diam tidak sepatah katapun keluar dari mulutnya. Hanya sesekali desah panjang mengiringkan asap rokok kretek dari bibir hitamnya.

“Permaslahan baru terjadi sepulangku yang kedua dari Malaysia, seluruh rekening dipindahkan ke rekening pribadi mas Prapto yang lain. Dan rumah yang aku tinggali warisan oang tua sudah disertifikatkan atas nama dia. Aku merasa benar – benar sendirian di dunia ini. Mas Prapto kakak dan keluarga satu – satunya yang selama ini memberiku support untuk tetap hidup dan berjuang demi Arimbi ternyata menghianatiku juga,” Shu tak mampu lagi melanjutkan kisahnya.

Mereka berdua tenggelam dalam masing – masing kegelisahan. Rintik hujan tiba – tiba turun terdengar halus jatuh menetes di rumbia atap gubug yang ada di dalam hutan itu. Dari kejauhan mulai bergemuruh saat tetes hujan jatuh di daun jati. Serupa irama tetabuhan alami menjadi harmoni alam, desau angin bertiup menggoyang reranting dan semak semak menenggelamkan mereka dalam masing masing kegelisahan.

Rembang, 29 Mei 2011

Tidak ada komentar:

 

Permainan Tradisional


Permainan Lainnya »

Kembang Boreh


Kembang Lainnya»

Laesan


Laesan Lagi»
..

Misteri

Dolanan

Tradisi

Gurit

Kembang ~ Mayang

Puisi

Cer ~ Kak

Laesan

Gambar Misteri

Artikel Disarankan Teman